15 Mei 2010

ASAL MUASAL KARONIZT (versi 1)

Dalam kitab konstitusi Dinasti Pardosi, penguasa negeri Barus,
disebutkan bahwa sumber dari segala sumber hukum di kerajaan
tersebut berasal dari adat Batak, Bugis, Cheti, Islam dan lain-lain.

Sayangnya dalam kitab konstitusi tersebut tidak disebutkan apa dan
siapa bangsa Cheti tersebut. Walau dapat dimengerti, melalui
penjelasan pasal-pasalnya, bahwa orang Cheti itu adalah orang Keling
atau Bangsa Tamil.

Herannya adalah, tidak ada definisi khusus mengenai orang Tamil dan
bagaimana kondisi mereka dalam sistem sosial kerajaan. Tidak seperti
Kerajaan Aceh, yang mengasimilasikan orang Tamil (India) dan Batak
dalam sistem sosial masyarakat

Di Bawah pemerintahan Alauddin al-Kahhar (1530-1552) di Aceh
dilakukan pembagain klasifikasi rakyat atau strata sosial menurut
suku dan asal usulnya.

Orang-orang Mante-Batak atau penduduk Batak pribumi asli dinamakan
dengan sukee lhee reutoih (suku tiga ratus), orang-orang India
dimasukkan ke dalam kaom imeum peuet (kaum imam empat). Sedang para
imigran dinamakan kaum tok batee (kaum yang mencukupi batu).
Terakhir sekali dibentuklah kaom ja sandang (kaum penyandang).

Para imigran Hindu, yang memang terdiri dari empat kasta, tadinya
tergolong dalam kaum empat yang berdiam di tanah Abee, Lam Leuot,
Montasiek dan Lam Nga. Mereka akhirnya menganut agama Islam dengan
pemimpin kelompok yang bergelar imeum (imam).

Namun, di tanah Batak, tidak ada klasifikasi secara resmi seperti
tersebut di atas. Diyakini orang-orang Tamil, berasimilasi secara
sukarela dengan adat Dalihan Na Tolu yang menjadi sistem budaya,
sosial dan adat Bangsa Batak.

Prof. Van Ronkel beranggapan bahwa kata-kata seperti gudang, kuli,
suasa, kodi, kolam, peti, niaga, bedil dan tembaga, berasal dari
bahasa Tamil (Het Tamil Element in Het Maleisch oleh Van Ronkel,
Tijdschr. No. 45 Tahun 1902). Perlu kita ingat bahwa kitab adat
Batak disebut Kitab Tumbaga Holing. Tumbaga adalah Tembaga yang
berasal dari bahasa Tamil dan Holing adalah Keling atau sebutan
untuk Tamil.

Begitu juga dengan kata-kata yang dipakai setiap hari seperti
marapulai, pualam, cemeti, jodoh, gundu, badai, kolam, belenggu,
dahaga, kanji, mahligai (ingat makam mahligai di Barus!), talam
(nama kue), onde-onde, apam dan serabi. Melihat dari variasi
bahasanya dapatlan kita simpulkan bahwa orang Tamil di tanah Batak
berprofesi sebagai orang `biasa' atau pedagang.

Beberapa ahli berpendapat bahwa orang Batak Karo, khususnya marga
Sembiring, merupakan orang yang paling banyak mendapat pengaruh dari
budaya Tamil ini. Bahkan ada yang mengatakan bahwa Sembiring
merupakan keturunan Tamil.

Lucunya, Guru Patimpus putera Si Raja Hita yang merupakan putera
dari Sisingamangaraja alias Mahkuta alias Manghuntal disebutkan juga
bermarga Sembiring. Namun penabalan marga dalam sejarah sering
membingungkan, karena penyusunan dan stratifikasi marga baru
dilakukan pada zaman Belanda.

Memang ada yang berpendapat bahwa sebenarnya Tarombo dalam
masyarakat Batak merupakan kiasan dari konstelasi politik kuno di
tanah Batak. Misalnya nama Sariburaja dalam salah satu tarombo
Batak, sebenarnya bukanlah nama orang tapi nama sebuah kerajaan yang
pernah berkuasa meliputi tanah Batak dan semua Sumatera yakni
Sriwijaya.

Maka begitu juga nama marga Sinambela. Apakah ini nama orang atau
hanya gelar saja, saat itu, yang ditujukan kepada seseorang yang
mempunyai kharisma dan kebiasaan mulia yang selalu membela mereka
yang teraniaya seperti apa yang ditunjukkan oleh Manghuntal selama
hidupnya. Dia melunasi utang para korban rentenir, memerdekakan
budak dan lain sebagainya. Sinambela berarti orang yang selalu
membela dari anarki kemungkaran dan kemaksiatan

Merujuk dari kenyataan ini patut dipertanyakan penyusunan marga dan
Tarombo yang dilakukan berdasarkan inisiatif beberapa pegawai
Belanda di zaman penjajahan. Revaluasi dan riset kembali sangat
dibutuhkan untuk melihat sisi-sisi sejarah yang digelapkan dengan
sistem pohon geneologis yang disandarkan kepada anggapan bahwa
seakan-akan itu sudah baku berdasarkan informasi Belanda. Bisa saja
80 persen marga dan Tarombo tersebut sudah mendekati kebenaran namun
terdapat beberapa kelainan yang patut dipertanyakan. Oleh karena
itulah banyak ahli sejarah Batak menempatkan Tarombo sebagai sumber
pembanding saja setelah sumber utama dalam penulisan sejarah.

Kembali ke persoalan Sembiring, banyak nama marga dan sub-marga
rumpun Sembiring seperti Pandia, Meliala dan Cholia, berasal dari
bahasa Tamil. Begitu juga dengan rumpun Borbor di daerah Toba atau
Dairi (Lihat karangan Stein Callenfels dalam Oudh, Tahun 1920 hal.
73)

Membakar mayat dan menghanyutkannya sebagian dari tulang-tulang di
sungai umpamanya, menurut Joustra (Meededeelingen Omtrent en
Opmerkingen naar Aanleiding v.h. Pek Oeloeh of het Doodenfest der
Marga Sembiring. Tijdschr No. 45 Tahun 1902) adalah kebiasaan marga
Sembiring yang mungkin berasal dari Tamil.

Bila kita membaca berbagai literatur mengenai struktur masyarakat
Batak dan kehadiran para imigran dapatlah kita simpulkan bahwa
Bangsa Batak merupakan bangsa yang terbuka dengan kebudayaan dan
pengaruh dari luar. Walau secara teritorial mereka sangat menutup
diri dari hingar-bingar perpolitikan seperti perang dan penjajahan.

Sistem budaya Batak kuno sangat terbuka dengan masuknya keberagaman
budaya asing sehingga orang-orang Bugis, Melayu, Aceh dan lain
sebagainya dapat masuk menjadi bagian dari adat Dalihan Na Tolu
dengan mudah.

Namun, bukanlah berarti bahwa semua kekayaan peradaban Batak berasal
dari para imigran semata. Seperti banyak orang mengatakan bahwa
peradaban Batak merupakan dari serapan dari kebudayaan India semata.
Justru yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana dan apa yang
menjadi perekat yang menyebabkan orang asing datang dan bermukim di
tanah Batak dan bahkan menjadi orang Batak dengan marga-marga baru
mereka.

Diyakini, pluralisme yang ada dalam nilai-nilai sosial Batak, telah
menjadi faktor utama yang menyebabkan orang-orang asing merasa
nyaman menjadi orang Batak. Setidaknya inilah yang terjadi pada
sejarah kuno Batak sebelum datangnya orang Eropa yang menghancurkan
semua tatanan tersebut.

Faktor lainnya adalah, perkembangnya ilmu pengetahuan seperti yang
termaktub dalam pustaha-pustaha Batak yang mengundang para ilmuwan
asing kuno untuk menyerap kebudayan Batak dan dibawa ke negeri
masing-masing.

Peta dunia ala Ptolemy diyakini merupakan serapan dari pemahaman
Naga Padoha Batak, saat Ptolemy datang ke tanah Batak di abad ke-2
M. Begitu juga dengan ekspedisi-ekspedisi maritim Fir'aun di tahun
2000 SM ke negeri-negeri jauh untuk menggali ilmu. Yang salah satu
diantaranya diyakini berlabuh di negeri Batak.

Faktor lain tentunya adalah hasil tambang dan perkebunan tanah Batak
kuno yang khas dan spesifik yang tidak ditemukan di tempat lain.
Sayangnya, peta-peta jalur laut ke tanah Batak selalu dirahasiakan
oleh penemunya sehingga tanah Batak menjadi tidak masyhur saat itu.
Barulah kedatangan pelaut-pelaut Arab di tahun 8 M membuka tabir
dari kemisterian tanah Batak saat itu.

Namun, konstelasi sosial politik tanah Batak tidak saja terjadi
antara Batak dan asing tapi juga antara Batak itu sendiri. Khusunya
antara Toba dengan Karo yang pada akhirnya berhubungan dengan marga
Sembiring ini.

Karo adalah sub-suku Batak yang telah memisahkan diri secara
identitas sejak tahun 1200-an dengan nama kerajaan Haru Wampu. Orang
Karo tinggal di kaki bukit barisan. Orang aseli Karo sebelum adanya
asimilasi dengan asing masih tersisa di daerah Siberraya dekat
dengan Deli Tua. Mereka ini disebut Karo Sekali karena mereka
merupakan orang Karo yang masih aseli. Karo dalam penyebutan bahasa
Asahan adalah Haro.

Di dataran tinggi, terjadilah invasi dari orang Toba dan Dairi.
Orang-orang tersebut bermarga Barus, Lingga dan Sitepu yang kemudian
menetap di tanah Karo. Namun, bagi orang Karo aseli, mereka ini
bukanlah suku Karo yang aseli sehingga mereka disebut dengan istilah
Karo-karo.

Mereka ini membuat perkampungan sampai ke dataran rendah dekat Deli
Tua dan Binjai. Marga Tarigan datang dari Dolok dan Simalungun dan
juga dari Lehe (Dairi) berjalan menuju Nagasaribu dan Jupar. Satu
cabang marganya turun ke pesisir timur, Ale-Deli dekat Pulau Brayan,
dan bahkan sampai ke Siak (W.B. Hollman dalam Nota 1932
dalam `Adatrechtsbundels"

, xxxviii, hal 375 etc.

J.H. Neuman menduga mereka pindah bergelombang dari dataran tinggi,
karena adanya desakan dari orang-orang India Tamil yang datang dari
arah Singkil dan Barus yang masuk masuk ke tanah Karo dan juga
karena marga Sembiring diusir dari Aceh. (Bijdrage tot de
Geschiedenis der Karo Batakstammen", BKI 1926). Ini berarti bahwa
orang Tamil dan Sembiring adalah beda atau kemungkinannya orang
Tamil yang terusir tersebut akhirnya menetap di Medan dengan marga
Sembiring.

Sedangkan marga Ginting datang via Tengging lewat pegunungan (Layo
Lingga) masuk Tanah Karo. Banyak pula daerah mereka yang diambil
oleh komunitas Sembiring. Marga Perangin-angin datang melalui Pinem
dan Layo Lingga. Mereka menuju ke utara, ke Kuta Buluh dan ke
seberang barat Gunung Sinabung. Juga mereka melintasi pegunungan
menuju dataran rendah dekat Binjai. Hanya Perangin-angin Batu Karang
yang datang dari arah Siantar, tapi akhirnya mengaku juga datang via
Dairi.

Sembiring Kembaren datang melalui Lau Baleng dan via Samperaja
(Liang Melas), masuk Bahorok di Langkat. Ada juga yang terus ke
tanah Alas. Invasi yang terakhir adalah dari marga-marga Sembiring
lainnya yakni Brahmana, Meliala, Depari dan lain-lain yang juga
melalui jalan tadi agak ke timur menghulu Sungai Biang dan menuju
arah Siberraya.

Jika ditelusuri cerita dari Perbesi, maka marga-marga Sembiring ini
baru masuk Dusun Deli dan Serdang kira-kira 150 tahun yang lalu.
Marga-marga ini sangat sedikit dan tidak pernah menjabat Kepala
Kampung (Penghulu atau Perbapaan) di Dusun Deli dan Serdang. Jadi
hampir semua dari mereka ini datang dari Hulu Sungai Singkel dan
hulu sungai-sungai di sebelah pantai Barat Sumatera.


tulisan ini saya dapat di yahoo/infokaro

judul aslinya sih "TEKA TEKI SEMBIRING" cuma setelah saya baca,isinya mencangkup hampir semua marga,.jadi saya ubah aja,.

SEMOGA BERMANFAAT

JQ ^_^

Tidak ada komentar: